Rabu, 18 Juli 2012

Permasalahan dan Isu


Permasalahan dan isu timbul akibat adanya perbedaan antara kondisi perencanaan ideal dengan kondisi realita yang ada dalam aspek spasial. Permasalahan yang muncul bisa timbul dari aspek-aspek tertentu atau juga masalah yang terdapat di ampir semua unit amatan sebagai masalah agregat. Permasalahan sendiri adalah suatu kondisi di mana terdapat permasalahan yang telah dibuktikan  dan didukung oleh data-data penjelas sebagai bukti dan fakta. Sedangkan isu adalah permasalahan yang timbul tanpa belum didukung oleh data-data terkait.

Banjarejo sebagai daerah studi
hingga saat ini masih memiliki beberapa permasalahan dan isu-isu dominan terkait segala aspek kehidupan, khususnya aspek mengenai perencanaan wilayah. Pembahasan permasalahan dan isu yang akan dibahas pada bab ini memfokuskan pada aspek keruangan, ekonomi – demografi, dan aspek kelembagaan. Tidak menutup kemungkinan akan ditemukan permasalahan – permasalahan lainnya yang muncul berdasarkan analisis berbasis data yang didapatkan.

Aspek Keruangan Wilayah
Pemahaman aspek keruangan wilayah yang paling efisien dan efektif adalah pemahaman wilayah berdasarkan data pemetaan. Data-data tersebut selanjutnya dianalisis lebih lanjut untuk mencari permasalahan yang mungkin tidak terungkap secara kasat mata. Berikut adalah permasalahan – permasalahan yang ada di Kecamatan Banjarejo baik dalam aspek keruangan makro (Kabupaten Blora) dan aspek keruangan mikro kecamatan tersebut.
a. Keruangan makro
i. Aspek penggunaan lahan sangat bersifat kedesaan
Peta di samping menjelaskan bahwa wilayah Banjarejo merupakan daerah pedesaan dengan lokasi permukiman penduduk yang sedikit. Warna kuning menunjukkan fungsi guna lahan sebagai daerah pertanian dan warna coklat sebagai daerah hutan dan kebun. Dilihat dari keseluruhan guna lahan yang ada di Kecamatan Banjarejo, Kecamatan ini didominasi penggunaan lahan pertanian dan kebun. Permsalahan yang timbul adalah kecamatan ini masih memiliki sifat kedesaan yang tinggi dengan luasan wilayah permukiman penduduk yang sedikit dengan pola yang tersebar.
ii. Kerawanan Bencana
Secara agregatif, kecamatan Banjarejo memiliki potensi masalah yang hampir dialami oleh semua kecamatan yang ada di Kabupaaten Blora. Permasalahan rawan bencana yang muncul dominan adalah : kekeringan, banjir dan rawan longsor. Berikut adalah tabel kerawanan yang dapat di bagi hingga perdesa:
Berdasarkan tabel di atas bisa di simpulkan bahwa kondisi kerawan yang terjadi di 80% wilayah Kecamatan Banjarejo adalah kekeringan. Akibat yang ditimbulkan dari bahaya kekeringan ini adalah penurunan produsi padi yang berakibat pada menurunnya pendapatan masyarakat. Terlihat dari data hasil pertanian dan hasil wawancara yang menunjukkan bahwa selisih hasil produksi padi yang terjadi pada peralihan musim tanam 1  musim tanam 2 terdapat penuruan hasil produksi padi hingga 50%. Akibat terburuk yang ditimbulkan oleh bahaya kekeringan ini adalah ancaman gagal panen. Kebiasaan masyarakat untuk menangani permasalahan ini biasanya dengan mencari alternatif usaha lain yaitu berternak.
Perhitungan kerugian maksimal yang mungkin bisa terjadi apabila kejadian gagal panen terjadi di semua desa yaitu:
o   Luas lahan sawah pertanian : 4050 Ha
o   Pendapatan rata-rata tiap 0,5 Ha perbulan adalah 1 juta  2 juta/Ha
o   Kemungkinan kerugian maksimal yang mungkin terjadi akibat gagal panen adalah: 4050 x 2 juta = 9.1 milyar / bulan
o   *dengan asumsi terjadi gagal panen di semua desa
iii Jaringan jalan dan sarana perhubungan yang minim
Akses jaringan jalan merupakan aspek penting dalam upaya pengembangan wilayah di Kecamatan Banjarejo. Wilayah tanpa adanya jaringan jalan akan berakibat pada lambatnya pembangunan. Kenyataannya di Kecamatan Banjarejo masih sedikit jaringan jalan yang dapat terpetakan. Kelas jalan yang ada antara lain:
o   Jalan kabupaten menghubungkan Banjarejo-Ngawen dan Banjarejo-Kota Blora
o   Jalan Lokal
Kondisi dari jalan yang ada juga tergolong kurang baik. Berdasarkan data departemen PU kondisi Jalan Kecamatan Banjarejo terbagi  sebagai berikut:
o   Jalan baik: 6,65 km
o   Jalan rusak ringan : 13,10 km
o   Jalan rusak : 27,57 km
o   Rusak berat: 4,3 km
Persentase jalan rusak dengan jalan baik pada data di atas menunjukkan persentase 7:45 atau sekitar 86% jalan adalah katgori jalan rusak.

Aksesibiltas dari kecamatan Banjarejo juga masih minim. Berdasarkan hasil pemantauan, hanya terdapat satu trayek agkutan umum di Banjarejo yaitu dengan rute Banjarejo-Kota Blora. Angkutan tersebut beroprasi pada pukul 06.00 hingga 09.00 pagi. Jumlah angkutan yang ada juga hanya 5 angkutan.
Pergerakan penduduk Kecamatan Banjarejo cenderung bergerak menuju pusat kota (Blora kota) dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mengakibatkan desa-desa yang dilalui  oleh jalan kabupaten menuju Kota Blora ebih cepat berkembang daripada desa lainnya. Berikut adalah desa-desa yang dilalui oleh jalan kabupaten :
o   Arah Banjarejo – Ngawen:
  Banjarejo  Karagtalun  Kebonrejo
o   Arah Banjarejo – Blora kota
  Banjarejo  Mojowetan  Sumberagung  Gedongsari  Sendangwungu.
b.  Keruangan mikro
i.  Tata Guna Lahan yang tidak ideal
Telah dibahas pada tata guna lahan makro, tata guna lahan secara mikro masih ditemukan dua guna lahan yang mendominasi penggunaan lahan kecamata yaitu sawah tadah hujan dan kebun. Lokasi permukiman warga yang sedikit mengakibatkan luasan permukiman bukan menjadi tata guna lahan dominan dan hanya terbentuk secara linier mengikuti pola jaringan jalan yang ada.
Berdasarkan gambar peta tata guna lahan, pembagian tata guna lahan dominan yang ada di Kecamatan Banjarejo meliputi:
o   Kecamatan berbasis pertanian:
Kembang, Plosorejo, Buluroto, Kebonrejo, Sembongin, Sendangwungu, Gedongsari, Sumberagung, Klopoduwur, Sidomulyo, Mojowetan, Sendanggayam,  Balongrejo, Buluroto
o   Kecamatan berbasis kebun dan hutan
Wonosemi, Bacem, Balongsari, Banjarejo, Jatiklampok, Jatisari
ii         Kerawanan Bahaya Rawan Air Bersih
Implikasi dari adanya bahaya kekeringan dan curah hujan yag minim menyebabkan terdapatnya desa-desa yang rawan kekeringan di Kecamatan Banjarejo. Hasil pengamatan lapangan. Sumber air Kecamatan Banjarejo mengandalkan sumerb air sumur. Belum ada ditemukan fasilitas PDAM yang melayani penduduk. Kedalaman air tanah di Banjarejo mencapai 10 meter.
                     
Gambar di atas dapat dilihat bagaimana tingkat kedalaman dalam mencapai sumber air besih bawah tanah. Pengambilan air oleh masyarat menggunakan pompa air atau menggunakan tali manual. Berikut ini adalah peta kerawanan air bersih Kecamatan Banjarejo
Dari 20 desa yag ada di Kecamatan Banjarejo hanya terdapat dua desa yang tidak mengalami bahaya kerawanan air bersih yaitu Desa Sumberagung dan Klopoduwur. Persentasi desa yang tergolong ke dalam desa rawan bencana air bersih mencapai 90% atau 18 desa dari total 20 desa yang ada.
3.1.2  Ekonomi dan Demografi
Aspek ekonomi dan aspek demografi kependudukan akan mempengaruhi keadaan sosial dan potensi-potensi perekomomian yang ada. Permaslahan yang timbul dari aspek perekonomian adalah ketimpangan pendapatan penduduk, sumberdaya, da kesejahteraan penduduk. Sedangkan permaslahan aspek demografi menyagkut dinamika penduduk, kesehatan, pendidikan, migrasi, dan lain sebagainya. Aspek-aspek ini merupakan aspek yang secara langsung menyinggung kehidupan penduduk Kecamatan Banjarejo. Penjelasan dari tiap-tiap permasalahan ekonomi dan demografi yang muncul setelah dilakukannya analisis yaitu:
a Permasalahan ekonomi
i .Ketimpangan Produksi Padi
Meskipun Kecamatan Banjarejo merupakan desa dengan potensi utama hasil pertanian, namun pada peta analisis produksi padi ditemukan ketimpangan dan tidak ratanya hasil pertanian di Banjarejo. Ketimpangan tersebut terjadi akibat aksesibiltas, perbedaan tingkat kesuburan tanah dan ketersediaan air.

Peta di atas merupakan peta klasifikasi hasil produksi padi pada musim taman 1. Terdapat 3 kategori klasifikasi yang terbentuk yaitu:
  Produksi padi tinggi (66-67 kw/ha) :
•         Kembang, Kebonrejo, Karangtalun, Sembogin, Buluroto
  Produksi padi menengah ( 64kw/ha):
•         Plosorejo, Balongrejo, Sendangwungu, Gedongsari, Banjarejo, Bacem
  Produksi padi rendah (60kw/ha):
•         Jatisari, Jatiklampok, Balongsari, Wonosemi, Sendanggayam Sidomulyo, Sumberagung, Klopoduwur.
Dari hasil analisis klasifikasi yang didapatkan, maka desa dengan kategori produksi padi rendah adalah: Jatisari, Jatiklampok, Balongsari, Wonosemi, Sendaggayam, Sidomulyo, Sumberagung, Klopoduwur.
ii. Minimnya sektor Industri
Industri yang bergerak di Kecamatan Banjarejo adalah produksi pengolahan tahu. Di Banjerejo memang bukan merupakan daerah dengan sektor perindustrian dominan. Namun dengan keberadaannya yang sedikit ini tidak dapet memberikan kontribusi terhadap perekonomian masyarakat. Sektor indutri yang bergerak aktif di Kecamatan Banjarejo hanya terdapat di 4 desa yaitu:  desa Banjarejo, Gedongsari, Buluroto, Sendangwungu. Desa-desa lainnya bukan merupakan desa yang berpotensi sektor perindustrian.
Analisis lebih lanjut dilakukan dengan menganalisis jumlah sektor industri dengan jumlah buruh yang terdapat di Kecamatan Banjarejo, hasil dari matriks yang didapatkan adalah terdapatya potensi-potensi jumlah buruh yang banyak namun tidak didukung oleh ketersediaan fasilitas perindustrian yang memadai yaitu Desa Plosorejo, Balongrejo, dan Sumberagung dengan predikat jumlah buruh tinggi, industri kecil

Hasil matrikulasi di atas dapat didapatkan terdaat 3 kecamatan dengan kategori jumlah buruh tinggi (16-42 orang) namun sektor industri kecil yaitu:
•         Desa Sumberagung
•         Desa Balongrejo
•         Desa Plosorejo
Sedangkan desa yang tidak memiliki potensi perindustrian, baik dalam jumlah buruh dan juga jumlah perindustriannya adalah:
•         Jatisari
•         Jatiklampok
•         Wonosemi
•         Balongsari
•         Sendanggayam
•         Mojowetan
•         Karangtalun
•         Kebonrejo
•         Sembongin
•         Kembang
iii        Ketimpangan jumlah pedagang
Ketimpangan jumlah pedagang yang terdapat di Banjarejo sangat dipengaruhi oleh keberadaan fasilitas perdagangan yang ada (pasar). Ketimpangan jumlah pedagang akan berpengaruh pada ketidakrataan masyarakat untuk menndapatkan barang yang dibutuhkan. Masyarakat di desa yang tidak memiliki jumlah pedagang memadai akan membeli barang ke pusa perdagangan lokal atau ,ungkin pergi ke pusat kota. Berikut adalah peta klasifikasi jumlah pedagang:
Pada peta di samping terlihat bahwa masih terdapat
Desa-desa yang memiliki jumlah pedagang degan kategori minim. Dari peta ditemukan 12 desa yang tidak memiliki jumlah pedagang memadai yaitu:
•         Plosorejo
•         Kembang
•         Sembongin
•         Balongrejo
•         Karangtalun
•         Wonosemi
•         Sendanggayam
•         Bacem
•         Balongsari
•         Jatisari
•         Jatiklampok

Sedangkan pusat dari aktivitas ekonomi dapat ditemukan di desa Banjarejo dan Gedongsari
b        Permasalahan demografi dan kependudukan
i           Ketimpangan Kesejahteraan
Tingkat kesejaheraan di Banjarejo sediki banyak ditentukan oleh hasil produksi padi yang menjadi penyumbang terbesar perekonomian warga. Namun stelah melakukan anailis lebih lanjut,   didapatkan kondisi di mana desa dengan jumlah panen yang tinggi selalu diikuti oleh penduduk dengan kondisi kesejahteraan yang tinggi. Ketimpangan kesejahteraan ini didapatkan dari matrikulasi data:
•         Peta Hasil Panen Padi Musim Tanam 1
•         Peta keluarga sejahtera 3 Plus
Hasil pemetaan dan matrikulasi hasil data tersebut disajikan dalam bentuk peta dan tabel matrikulasi untuk dapat memahami permaslahan dalam aspek keruangan wilayah.

Hasil matrikulasi di atas dapat dilihat bahwa terdapat dua wilayah yang meiliki potensi hasil pertanian tinggi (66kw/ha) namun tingkat kesejahteraan sangat rendah yaitu:
•         Desa Kembang
•         Karangtalun
Selain itu juga didapatkan desa dengan tingkat panen rendah dengan kesejahteraan rendah yaitu:
•         Jatisari
•         Jatiklampok
•         Wonosemi
•         Sidomulyo
•         Sumberagung
•         Sendanggayam
ii         Dinamika Kelahiran dan Kematian
Dinamika kelahiran dan kematian ini berpengaruh pada bagaimana pengaruh terhadap peningkatan jumlah penduduk di tiap desa. Dengan asumsi jika desa yang memiliki tingkat kematian lebih ttinggi daripada kelahirannya maka terdapat dua kemungkinan yang mungkin terjadi yaitu: tingkat kesehatan rendah atau angka kelahiran yang rendah. Pada desa yang memiliki tingkat kelahiran lebih tinggi daripada kematiannya mengindikasikan tigkat kesehatan yang tinggi atau Pemetaan dan matrikulasi yang dibuat berusaha untuk menjelaskan dan mengkaitkan dua data yag berpeda untuk dianalisis lebih lanjut.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap Ka Puskesmas Banjarejo, disebutkan bahwa hingga saat ini tigkat kesehatan di Kecamatan Banajarejo masih tergolong cukup aman. Belum pernah terjangkit penyakit endemik yang mengakibatkan korban yang banyak. Jumlah fasilitas yang di temukan di Banjarejo hanya memiliki 1 puskesmas kecamatan. Proses kelahiran ditangani oleh bidan dan dibantu oleh satu pembantu bidan/ tenaga kesehatan. Konsep 4 tangan digunakan untuk membantu proses kelahiran yang berarti setiap pasien melahirkan harus dibantu minimal 2 orang tenaga medis.


Penjelasan dari peta di atas ditampilkan dalam tabel matrikulasi di bawah ini:
iii        Ketidakseimbangan Jumlah Kematian terhadap Jumlah Fasilitas Kesehatan
Analogi menyebutkan bahwa semakin banyak fasilitas kesehatan maka jumlah kesehatan akan meningkat dan jumlah kematian bisa menurun. Namun, data yang ada di lapangan mengatakan hal lain yaitu masih ditemukan desa dengan jumlah fasilitas kesehatan yang memadai namun tingkat kematian masih tinggi. Di sisi lain juga terdapat tingkat kesehatan yang baik namun jumah kematian juga bisa ditekan. Berikut adalah peta matrikulasi yang didapat dari data:
•         jumlah kematian tahun 2010
•         jumlah fasilitas kesehatan tahun 2010


Berdasarkan hasil analisis tingkat kesehatan dan kematian didapatkan desa dengan tingkat kesehatan rendah yaitu tingkat kelahiran rendah dan kematian tinggi yaitu:
•         Desa Buluroto
•         Desa Plosorejo
iv       Dinamika Perpindahan Penduduk
Perpindahan penduduk adalah bagian dari dinamika urbanisasi yang terjadi di Kecamatan Banjarejo. Perindahan migrasi keluar yang tinggi mengindikasikan nahwa di daerah tersebut belum bisa menyediakan fasilitas yang memadai bagi penduduknya. Sedangkan daerah dengan migrasi masuk yang tinggi mengindikasikan daerah tersebut memiliki daya pemikat yang kuat bagi daerah lainnnya. Analisis perpindahan masuk dan keluar dilakukan untuk bisa memahami bagaimana pergerakan, mengatahui daerah yang memiliki potensi dan kekurangan daya saing sehingga banyak penduduknya yang bermigrasi keluar.

Peta di atas memiliki 3 kategori penggolongan tingkat migrasi. Penjelasan bisa dilihat melalui tabel matrikulasi Perpindahan penduduk.           


Data matrikulasi di atas menyebutkan bahwa desa dengan pergarakan tinggi adalah Desa Banjarejo dengan migrasi keluar lebih besar daripada migrasi masuknya. Sebagi pusat kecamatan, memungkingkan untuk penduduknya melakukan migrasi ke wilayah yang lebih maju dengan kemudahan akses. Sedangkan sebagian besar desa di Banjarejo merupakan desa dengan penduduk yang cenderung stastis dengan pergerakan penduduk rata-rata sebesar 3 penduduk pertahun sebanyak 11 desa atau 55% dari total desa yang ada.
v         Penduduk Tidak Bersekolah terhdap Jumlah Fasilitas Pendidikan
Permasalahan mengenai penduduk yang tidak sekolah akan muncul apabila di tempat tersebut memiliki fasilitas pendidikan yang memadai namun tetap jumlah penduduk yang tidak sekolah tinggi. Adanya program waji belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah dan juga progam grtais biaya pendidikan seharunya bisa menjadi solusi bagi penduduk untuk menempuh pendidikan. Namun terdapat preferensi lain yang bisa mengakibatkan seseorang tidak mengenyam pendidikan karena:
•         Ketidak pahaman menganai program wajib belajar
•         Larangan orang tua untuk bersekolah
•         Memilih bekerja daripada bersekolah.
Fenomena ppendidikan di desa ini mungkin berbeda dengan pendidikan di perkotaan di mana faktor pendidikan sangat penting. Berikut adalah peta dan tabel matrikulasi antara data penduduk tidak sekolah terhdap ketersediaan jumlah fasilitas pendidikan.


Penjelasan peta di atas dapat dilihat dengan tabel analisis  matrikulasi berikut
Berdasarkan data matriks dan peta di atas, desa-desa di Kecamatan Banjarejo dapat dibedakan menjadi 4 kategori yaitu:
•         Merah  : tidak sekolah tinggi namun jumlah fasilitas pendidikan lengkap
•         Biru        : kategori pendidikan rata-rata
•         Hijau      : tidak sekolah sedikit dengan fasilitas pendidikan lengkap
•         Hijau muda         : tidak sekolah rendah dengan fasilitas pendidikan tidak lengkap
Kondisi bermasalah ada di kategor tidak sekolah tinggi dengan fasilitas lengkap adalah desa Mojowetan. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena  jumlah pendudu yang tidak sekolah mencapai ribuan penduduk. Diperlukan adanya pendekatan lebih lanjut untuk menekan jumlah penduduk tidak sekolah
vi       Kesenjangan Persebaran Kepadatan Penduduk
Persebaran penduduk yang tidak merata akan mengakibatkan beban tiap desa yang berlebihan. Konsentrasi penduduk tidak merata. Diperlukan pemerataan penduduk untuk mengatasi konsentrasi penduduk yang memusat di salah satu desa. Pola persebaran kepadatan penduduk di Kecamatan Banjarejo daat dilihat melalui peta dan tabel  kepadatan penduduk.

Pemetaan dari data kepdatan penduduk tersebut lalu diklasifikasikan menjadi 3 klasifikasi yaitu:
•         Kepadatan tinggi      : 948-1817 jiwa/km2
•         Kepadatan sedang  : 508-947 jiwa/km2
•         Kepadata rendah     : 165-507 jiwa/km2
Pemetaan yang didapat dari hasil data di atas adalah sebagi berikut:

3.1.3                      Kelembagaan Instansi Pemerintahan
Permasalahan kelembagaan muncul akibat ketidak efektifan pelayan pemerintah terhadap layanan kepada masyarakat. Sering kali permasalahan kelembagaan ini disebut sebagai masalah birokrasi. Pelayana nyang tidak terstruktur dan layanan yang tidak prima dari pemerintah akan mengakibatkan ketidaknyaman atau bahkan masalah yang serius di masyarakat. Seringkali masalah kelembagaan ini tidak terpantau oleh masyarakat. Sifat masyarakat desa yang kurang kritis terhdap layanan pemerintah membuat permasalahan ini semakin menjadi. Beberapa permasalahan kelembagaan yang ditemukan di lapangan antara lain:
i           Kelembagaan Kehutanan

                   Alur hasil sharing kehutanan tersebut menjelaskan bahwa masih terdapat kejanggalan dalam pemberian feedback / timbal balik sebagai hasil produksi hutan diantaranya:
•         Pengelolaan hutan tidak berdasarkan pada batasan administrasi kecamatan
•         Hasil dari hutan tidak kembali ke daerah masing-masing, namun kembali ke pemerintah daerah sebagai APBD
•         Masyarakat hanya mendapat hasil dana sharing dari perhutani
•         Pengawasan hutan dikembalikan ke masyarakat selaku LMDH (lembaga masyarakat desa hutan)
Alur yang rumit di atas dapat memungkinkan terjadinya korupsi untuk hasil dana yang dihasilkan, mengingat Kabupaten Blora adalah Kecamatan dengan produksi hasil hutan paling tinggi di Propinsi Jawa Tengah. Tercatat hasil APBD tertinggi yang dihasilkan oleh produksi hutan adalah sekitar 11 milyar. Organisasi dan pengefektivan alur sangat diperlukan untuk meningkatkan transparansi hasil hutan. Terbukti bahwa tidak banyak masyarakat yang tahu berapa besardana yang didapat dari hasil hutan.
ii         Pejabat Desa yang Kurang Optimal
Permasalahan Pejabat desa yang kurang optimal adalah keadaan di mana kinerja perangkat desa tidak sesuai dengan kondisi standar jam kerja pegawai biasanya. Dari hasil pantauan lapangan terdapat beberapa kantor desa yang kosong, kepala desa tidak selalu berada di kantor. Keadaan ini berakibat aka mengganggu aktivitas warga yang sewaktu-waktu membutuhkan pelayanan publik dan juga disposisi surat-surat peijinan. Sebagian dari perangkat desa tidak memahami secara detail bagaimana kondisi kedataan di desanya masing-masing. Pengetahuan mengenai kewilayahannya hanya sekitar apa yang ditemui sehari-hari.
Masalah lainnya adalah ketidaklengkapan data yang dimiliki tiap desa maupun kecamatan. Permasalahan ini muncul akibat buruknya koordinasi antara desa dengan pihak pengelola data, BPS kabupaten dan warga sebagai objek data. Masih banyak ditemukan data yang kosong dan tidak terisi. Poses birokrasi untuk mendapatkan data juga sangat rumit. Perlu adanya koordinasi antara kepala desa dan sekretaris desa untuk melakukan persetujuan
3.1   Penstrukturan Masalah Kewilayahan





Berdasarkan banyaknya permasalahan – permasalahan yang ditemukan dilapangan, dibutuhkan penstrukturan masalah yang digunakan untuk menyederhanakan masalah. Pemahaman permaslahan yang sederhana dilakukan dengan membuat pemodelan tabel sebagai berikut:


3.2.1 Hubungan antar Aspek
Hubungan antar aspek bisa menjelaskan bagaimana keterkaitan natar aspek dan apa pengaruhnya untuk setiap aspek. Aspek yang dibaas ada tiga yaitu: keruangan, ekonomi – demografi, dan kelembagaan . masing-masing aspek memiliki eran dalam penciptaan kondisi tertententu. Semakin hubungan yang ada maka semakin besar pengaruh satu denanlainnya. Hubungan yang terbentuk dari ketiga aspek tersebut digambarkan pada model berikut ini


3.2.2    Prioritasi Permaslahan
Setelah melakukan analisis pada setiap aspek maka prioritasi permaaslahan di Kecamatan Banjarejo adalah aspek yang memiliki permsalahan palig banyak dengan tingkat risiko tertinggi. Penstrukturan masalah menyebutkan bahwa urutan permsalahan yang muncul dari hasil analisis adalah
1.       Aspek kependudukan – ekonomi

2.       Aspek keruangan

3.       Aspek kelembagaan

Aspek kependudukan – ekonomi menjadi prioritas utama karena masalah yang muncul langsung menyangkut pada kehidupan masyarakat secara riil dan terjadi setiap hari. Sifat masalah merupakan masalah fundamental dengan kriteria:
•         Masalah yang timbul menyangkut kesejahteraan
•         Masalah yang timbul menyangkut kesehatan, kelahiran dan kematian
•         Maslakah menyangkut dinamika pergerakan penduduk
•         Orang yang menjdai subjek permsalahan mencapai ribuan
Berdasar dasar inilah aspek kependudukan dan ekonomi menjadi aspek dominan
3.2   Prakiraan Perkembangan Permasalahan Wilayah
Masalah yang ada saat ini jika tidak diatur sedemikian rupa akan menjadi semakin parah dikemudan hari. Masalah-masalah yang muncul membutuhkan strategi khusus untuk penanganan. Namun tidak semua aspek permasalahan bisa diselesaikan, contohnya aspek alamiah. Salah satu cara yang diguanakan adalah pencarian altrnatif baru.
Prakiraan perkembangan permalahan wilayah yang mungkin terjadi di Kecamatan Bajarejo adalah:
1.       Masalah keruangan
2.       Masalah pendidikan
3.       Masalah kelembagaan
3.3.1   Faktor Penting Pendorong Perkembangan Permasalahan Wilayah
Perkembangan permasalahan ini muncul akibat dari saiat penduduk desa yang kurang kreatif dan kritis melihat kondisi yang ada. Selain itu juga keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintash setempat mengakiatkan tidak adanya program kerja penanggunalangan permsalahan atau tidak adanya program pendidikan. Kondisi yang ideal adalah kondisi di mana masyarakat desa secara mandiri dpat menangani permasalahan yang muncul dan menjadi desa yang mandiri. Konsep pola pengembangan baru ini diperlukan untuk meningkatkan keaktifan dan kreatifiktas manusia untuk mengambangkan hal-hal baru yang bernilai ekonomi. Hal ini juga akan secara tidak langsung mengurangi angka migrasi yang ada.
Secara umum, faktor yang mempengaruhi pendorong perkembangan masalah adalah:
•         Tidak tersedianya pos dana pada pemerintah daerah
•         Sikap apatis masyarakat tidak menimbulkan kektifan dan kreativitas
•         Pemerintah tidakmemiliki program sektoral
•         Pemahaman masyarakat akan aspek keruangan wilayahnya masih minim.
3.3.2  Skenario Perkembangan Wilayah di Masa yang Akan Datang
Skenario dibutuhkan untuk mengatur bagaimana alur perencanan wilayah yang akan dilakukan ke dapan sesaui dengan target yang diharapkan. Secara umum skenario pengembangan wilayah dibagi menjadi tiga kondisi yaitu skenario pesimis, stastus quo dan optimis. Masing-masing skenario memiliki beban perencanan yang berbeda untuk mencapa target yang diinginkan. Skenario optimis memiliki usaha yang jauh lebih sedikit daripada skenario pesimis dengan tujuan mencapai kondisi yang sama .



















a         Skenario Pengambangan Keruangan
Pengembangan kerunangan memiliki banyak pilihan alternatif karena ada beberapa aspek yang tidak bisa diubah. Skenario pengembangan wilayah yang ada adalah :
i           Skenario optimis:
Lagkah-langkah yang dilakuka pada skenario optimis adalah
•         Mengembangkan pola ruang yang telah ada
•         Meningkatkan produkivitas pertanian dan kehutanan
•         Membangun akses pada desa yang belum memiliki akses
•         Menjadikan desa Banjarejo sebagi pusat kegiatan kecamatan
ii         Skenario Status Quo
•         Membangun saluran irigasi pertanian
•         Pembangunan embung-embung penyuplai air untuk pertanian
•         Peningkatan program pamsimas
•         Pengurusan ijin sumur air bawah tanah dalam (srtesis di tiap desa)
iii        Skenario pesimis
•         Melakukan pasar-pasar untuk menyediakan hasil bahan pokok
•         Pelatihan masyarakat untuk melatih ketrampilan
•         Mecari sumberdaya lain
•         Pengalihan sektor petanian ke sektor terbangun
b        Skenario pengembangan kependudukan dan perekonomian
Permalasalahan kependududkan dan perekonomian merupakan peramsalahan yang menjadi priotitas utama dalam perencanaan wilayah Banjarejo. Aspek-aspek inti masyarakat terdapat dalam permalahan ini pendekatan sosial dibutuhkan agar maksud dari perencanaan dapat tersampaikan dengan baik. Langkah-langkah dalam skenario pengembangan kependudukan dan perekonomian adalah:
•         Melakukan sosialisai meyeluruh kepada semua lapisan masyrakat untuk mendudkung pemahaman masyarakat akan kegiatan perencanaan
•         Melakukan progrm development from bellow
•         Mengembangkan sektor ekonomi baru untuk menunjang ekonomi basis
•         Mengembangkan program berjangka dan berkelanjutan
c         Skenario pengembangan kelembagaan
Kelembagaan selalu  terikat pada aturan yang terdapat di dalam lembaga tersebut. Aturan tersebut bersifat kaku dan mengikat. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah pengembangan dari kapasitas masing-masing elemen peyusun kelembagaan. Skenario yang dapat dilakukan adalah:
i           Peningkatan kapasitas kelembagaan
Peningkatan sistem dapat dilakukan dengan memperbaharui dan menambahkan peraturan yang lebih mengikat dengan disertai hukum yang mengikat. Seringdisadari bahwa pelaku lembaga tersebut lupa akan ikatan hukum yang mengikat dan menuntut pertanggungjawaban dari segala kebijakan yang dibuat. Sitem ini bisa mengatur dan mengkondisikan tiap-tiap individu didalamnya.
ii         Peningkatan kapasitas organisasi
Peningkatan kapasitas organisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
•         Penambahan jumlah anggota
melakukan penambahan jumlah anggota organisasi yang telah ada. Peningkatan julan anggota ini diharapkan akan menunjang tingkat produktivitas kelembagaan.
•         Hal kedua adalah pemendekan alur kerja.
Pemendekan alur kerja ini dapat meningkatan efektivitas dan ejfisiensi kerja dalam pengurusan perijinan.
•         Rotasi anggota organisasi
Bertujuan untuk mengantisipasi penyelewengan yang mungkin terjadi akibat kondisi individu yang terlalu pahan akan kelemahan-kelemhan lembaga
iii        Peningkatan kapasias individu
Kapasitan Individu merupakan pandangan masing-masing individu terhadap perkembangan wilayahnya. Mereka yang bekerja di bidang pertanian pada umumnya sangat giat dalam bekerja, bagi mereka jika hasil pekerjaannya sudah dapat mencukupi kebutuhannya maka mereka sudah dapat hidup.
Pandangan masyarakat yang susah untuk berkembang ini menjadi salah satu faktor lambatnya perkembang wilayah Kecamatan Ngawen.Kapasitas individu ini seharusnya diubah cara pikir masing –masing individu untuk dapat berkembang dan menjadi individu yang kreatif agar dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat dan tentunya mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah Kecamatan Banjarejo






Tidak ada komentar:

Posting Komentar