Permasalahan dan
isu timbul akibat adanya perbedaan antara kondisi perencanaan ideal dengan
kondisi realita yang ada dalam aspek spasial. Permasalahan yang muncul bisa
timbul dari aspek-aspek tertentu atau juga masalah yang terdapat di ampir semua
unit amatan sebagai masalah agregat. Permasalahan sendiri adalah suatu kondisi
di mana terdapat permasalahan yang telah dibuktikan dan didukung oleh data-data penjelas sebagai
bukti dan fakta. Sedangkan isu adalah permasalahan yang timbul tanpa belum
didukung oleh data-data terkait.
Banjarejo sebagai daerah studi
hingga saat ini masih memiliki beberapa permasalahan dan isu-isu dominan terkait segala aspek kehidupan, khususnya aspek mengenai perencanaan wilayah. Pembahasan permasalahan dan isu yang akan dibahas pada bab ini memfokuskan pada aspek keruangan, ekonomi – demografi, dan aspek kelembagaan. Tidak menutup kemungkinan akan ditemukan permasalahan – permasalahan lainnya yang muncul berdasarkan analisis berbasis data yang didapatkan.
hingga saat ini masih memiliki beberapa permasalahan dan isu-isu dominan terkait segala aspek kehidupan, khususnya aspek mengenai perencanaan wilayah. Pembahasan permasalahan dan isu yang akan dibahas pada bab ini memfokuskan pada aspek keruangan, ekonomi – demografi, dan aspek kelembagaan. Tidak menutup kemungkinan akan ditemukan permasalahan – permasalahan lainnya yang muncul berdasarkan analisis berbasis data yang didapatkan.
Aspek
Keruangan Wilayah
Pemahaman
aspek keruangan wilayah yang paling efisien dan efektif adalah pemahaman
wilayah berdasarkan data pemetaan. Data-data tersebut selanjutnya dianalisis
lebih lanjut untuk mencari permasalahan yang mungkin tidak terungkap secara
kasat mata. Berikut adalah permasalahan – permasalahan yang ada di Kecamatan
Banjarejo baik dalam aspek keruangan makro (Kabupaten Blora) dan aspek
keruangan mikro kecamatan tersebut.
a. Keruangan
makro
i. Aspek penggunaan lahan
sangat bersifat kedesaan
Peta
di samping menjelaskan bahwa wilayah Banjarejo merupakan daerah pedesaan dengan
lokasi permukiman penduduk yang sedikit. Warna kuning menunjukkan fungsi guna
lahan sebagai daerah pertanian dan warna coklat sebagai daerah hutan dan kebun.
Dilihat dari keseluruhan guna lahan yang ada di Kecamatan Banjarejo, Kecamatan
ini didominasi penggunaan lahan pertanian dan kebun. Permsalahan yang timbul
adalah kecamatan ini masih memiliki sifat kedesaan yang tinggi dengan luasan
wilayah permukiman penduduk yang sedikit dengan pola yang tersebar.
ii. Kerawanan Bencana
Secara
agregatif, kecamatan Banjarejo memiliki potensi masalah yang hampir dialami
oleh semua kecamatan yang ada di Kabupaaten Blora. Permasalahan rawan bencana
yang muncul dominan adalah : kekeringan, banjir dan rawan longsor. Berikut
adalah tabel kerawanan yang dapat di bagi hingga perdesa:
Berdasarkan
tabel di atas bisa di simpulkan bahwa kondisi kerawan yang terjadi di 80%
wilayah Kecamatan Banjarejo adalah kekeringan. Akibat yang ditimbulkan dari
bahaya kekeringan ini adalah penurunan produsi padi yang berakibat pada
menurunnya pendapatan masyarakat. Terlihat dari data hasil pertanian dan hasil
wawancara yang menunjukkan bahwa selisih hasil produksi padi yang terjadi pada
peralihan musim tanam 1
musim tanam 2 terdapat penuruan hasil produksi padi hingga 50%. Akibat terburuk
yang ditimbulkan oleh bahaya kekeringan ini adalah ancaman gagal panen.
Kebiasaan masyarakat untuk menangani permasalahan ini biasanya dengan mencari
alternatif usaha lain yaitu berternak.
Perhitungan
kerugian maksimal yang mungkin bisa terjadi apabila kejadian gagal panen
terjadi di semua desa yaitu:
o Luas lahan sawah pertanian : 4050 Ha
o Pendapatan rata-rata tiap 0,5 Ha perbulan
adalah 1 juta 2 juta/Ha
o Kemungkinan kerugian maksimal yang mungkin
terjadi akibat gagal panen adalah: 4050 x 2 juta = 9.1 milyar / bulan
o *dengan asumsi terjadi gagal panen di semua
desa
iii Jaringan jalan dan sarana
perhubungan yang minim
Akses
jaringan jalan merupakan aspek penting dalam upaya pengembangan wilayah di
Kecamatan Banjarejo. Wilayah tanpa adanya jaringan jalan akan berakibat pada
lambatnya pembangunan. Kenyataannya di Kecamatan Banjarejo masih sedikit
jaringan jalan yang dapat terpetakan. Kelas jalan yang ada antara lain:
o Jalan kabupaten menghubungkan
Banjarejo-Ngawen dan Banjarejo-Kota Blora
o Jalan Lokal
Kondisi
dari jalan yang ada juga tergolong kurang baik. Berdasarkan data departemen PU
kondisi Jalan Kecamatan Banjarejo terbagi
sebagai berikut:
o Jalan baik: 6,65 km
o Jalan rusak ringan : 13,10 km
o Jalan rusak : 27,57 km
o Rusak berat: 4,3 km
Persentase
jalan rusak dengan jalan baik pada data di atas menunjukkan persentase 7:45
atau sekitar 86% jalan adalah katgori jalan rusak.
Aksesibiltas
dari kecamatan Banjarejo juga masih minim. Berdasarkan hasil pemantauan, hanya
terdapat satu trayek agkutan umum di Banjarejo yaitu dengan rute Banjarejo-Kota
Blora. Angkutan tersebut beroprasi pada pukul 06.00 hingga 09.00 pagi. Jumlah
angkutan yang ada juga hanya 5 angkutan.
Pergerakan
penduduk Kecamatan Banjarejo cenderung bergerak menuju pusat kota (Blora kota)
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mengakibatkan desa-desa yang dilalui oleh jalan kabupaten menuju Kota Blora ebih
cepat berkembang daripada desa lainnya. Berikut adalah desa-desa yang dilalui
oleh jalan kabupaten :
o Arah Banjarejo – Ngawen:
Banjarejo Karagtalun Kebonrejo
o Arah Banjarejo – Blora kota
Banjarejo Mojowetan
Sumberagung Gedongsari Sendangwungu.
b. Keruangan mikro
i. Tata Guna
Lahan yang tidak ideal
Telah
dibahas pada tata guna lahan makro, tata guna lahan secara mikro masih
ditemukan dua guna lahan yang mendominasi penggunaan lahan kecamata yaitu sawah
tadah hujan dan kebun. Lokasi permukiman warga yang sedikit mengakibatkan
luasan permukiman bukan menjadi tata guna lahan dominan dan hanya terbentuk
secara linier mengikuti pola jaringan jalan yang ada.
Berdasarkan
gambar peta tata guna lahan, pembagian tata guna lahan dominan yang ada di
Kecamatan Banjarejo meliputi:
o Kecamatan berbasis pertanian:
Kembang,
Plosorejo, Buluroto, Kebonrejo, Sembongin, Sendangwungu, Gedongsari,
Sumberagung, Klopoduwur, Sidomulyo, Mojowetan, Sendanggayam, Balongrejo, Buluroto
o Kecamatan berbasis kebun dan hutan
Wonosemi,
Bacem, Balongsari, Banjarejo, Jatiklampok, Jatisari
ii Kerawanan Bahaya Rawan Air Bersih
Implikasi
dari adanya bahaya kekeringan dan curah hujan yag minim menyebabkan terdapatnya
desa-desa yang rawan kekeringan di Kecamatan Banjarejo. Hasil pengamatan
lapangan. Sumber air Kecamatan Banjarejo mengandalkan sumerb air sumur. Belum
ada ditemukan fasilitas PDAM yang melayani penduduk. Kedalaman air tanah di
Banjarejo mencapai 10 meter.
Gambar
di atas dapat dilihat bagaimana tingkat kedalaman dalam mencapai sumber air
besih bawah tanah. Pengambilan air oleh masyarat menggunakan pompa air atau
menggunakan tali manual. Berikut ini adalah peta kerawanan air bersih Kecamatan
Banjarejo
Dari
20 desa yag ada di Kecamatan Banjarejo hanya terdapat dua desa yang tidak
mengalami bahaya kerawanan air bersih yaitu Desa Sumberagung dan Klopoduwur.
Persentasi desa yang tergolong ke dalam desa rawan bencana air bersih mencapai
90% atau 18 desa dari total 20 desa yang ada.
3.1.2 Ekonomi dan Demografi
Aspek
ekonomi dan aspek demografi kependudukan akan mempengaruhi keadaan sosial dan
potensi-potensi perekomomian yang ada. Permaslahan yang timbul dari aspek
perekonomian adalah ketimpangan pendapatan penduduk, sumberdaya, da
kesejahteraan penduduk. Sedangkan permaslahan aspek demografi menyagkut
dinamika penduduk, kesehatan, pendidikan, migrasi, dan lain sebagainya.
Aspek-aspek ini merupakan aspek yang secara langsung menyinggung kehidupan
penduduk Kecamatan Banjarejo. Penjelasan dari tiap-tiap permasalahan ekonomi
dan demografi yang muncul setelah dilakukannya analisis yaitu:
a Permasalahan ekonomi
i .Ketimpangan
Produksi Padi
Meskipun
Kecamatan Banjarejo merupakan desa dengan potensi utama hasil pertanian, namun
pada peta analisis produksi padi ditemukan ketimpangan dan tidak ratanya hasil
pertanian di Banjarejo. Ketimpangan tersebut terjadi akibat aksesibiltas,
perbedaan tingkat kesuburan tanah dan ketersediaan air.
Peta
di atas merupakan peta klasifikasi hasil produksi padi pada musim taman 1.
Terdapat 3 kategori klasifikasi yang terbentuk yaitu:
Produksi padi tinggi (66-67
kw/ha) :
• Kembang, Kebonrejo, Karangtalun,
Sembogin, Buluroto
Produksi padi menengah
( 64kw/ha):
• Plosorejo, Balongrejo, Sendangwungu,
Gedongsari, Banjarejo, Bacem
Produksi padi rendah
(60kw/ha):
• Jatisari, Jatiklampok, Balongsari,
Wonosemi, Sendanggayam Sidomulyo, Sumberagung, Klopoduwur.
Dari
hasil analisis klasifikasi yang didapatkan, maka desa dengan kategori produksi
padi rendah adalah: Jatisari, Jatiklampok, Balongsari, Wonosemi, Sendaggayam,
Sidomulyo, Sumberagung, Klopoduwur.
ii. Minimnya sektor Industri
Industri
yang bergerak di Kecamatan Banjarejo adalah produksi pengolahan tahu. Di
Banjerejo memang bukan merupakan daerah dengan sektor perindustrian dominan.
Namun dengan keberadaannya yang sedikit ini tidak dapet memberikan kontribusi
terhadap perekonomian masyarakat. Sektor indutri yang bergerak aktif di
Kecamatan Banjarejo hanya terdapat di 4 desa yaitu: desa Banjarejo, Gedongsari, Buluroto,
Sendangwungu. Desa-desa lainnya bukan merupakan desa yang berpotensi sektor perindustrian.
Analisis
lebih lanjut dilakukan dengan menganalisis jumlah sektor industri dengan jumlah
buruh yang terdapat di Kecamatan Banjarejo, hasil dari matriks yang didapatkan
adalah terdapatya potensi-potensi jumlah buruh yang banyak namun tidak didukung
oleh ketersediaan fasilitas perindustrian yang memadai yaitu Desa Plosorejo,
Balongrejo, dan Sumberagung dengan predikat jumlah buruh tinggi, industri kecil
Hasil matrikulasi
di atas dapat didapatkan terdaat 3 kecamatan dengan kategori jumlah buruh
tinggi (16-42 orang) namun sektor industri kecil yaitu:
• Desa Sumberagung
• Desa Balongrejo
• Desa Plosorejo
Sedangkan desa yang
tidak memiliki potensi perindustrian, baik dalam jumlah buruh dan juga jumlah
perindustriannya adalah:
• Jatisari
• Jatiklampok
• Wonosemi
• Balongsari
• Sendanggayam
• Mojowetan
• Karangtalun
• Kebonrejo
• Sembongin
• Kembang
iii Ketimpangan jumlah pedagang
Ketimpangan
jumlah pedagang yang terdapat di Banjarejo sangat dipengaruhi oleh keberadaan
fasilitas perdagangan yang ada (pasar). Ketimpangan jumlah pedagang akan
berpengaruh pada ketidakrataan masyarakat untuk menndapatkan barang yang
dibutuhkan. Masyarakat di desa yang tidak memiliki jumlah pedagang memadai akan
membeli barang ke pusa perdagangan lokal atau ,ungkin pergi ke pusat kota.
Berikut adalah peta klasifikasi jumlah pedagang:
Pada peta di
samping terlihat bahwa masih terdapat
Desa-desa
yang memiliki jumlah pedagang degan kategori minim. Dari peta ditemukan 12 desa
yang tidak memiliki jumlah pedagang memadai yaitu:
• Kembang
• Sembongin
• Balongrejo
• Karangtalun
• Wonosemi
• Sendanggayam
• Bacem
• Balongsari
• Jatisari
• Jatiklampok
Sedangkan
pusat dari aktivitas ekonomi dapat ditemukan di desa Banjarejo dan Gedongsari
b Permasalahan demografi dan kependudukan
i
Ketimpangan Kesejahteraan
Tingkat
kesejaheraan di Banjarejo sediki banyak ditentukan oleh hasil produksi padi
yang menjadi penyumbang terbesar perekonomian warga. Namun stelah melakukan
anailis lebih lanjut, didapatkan kondisi di mana
desa dengan jumlah panen yang tinggi selalu diikuti oleh penduduk dengan
kondisi kesejahteraan yang tinggi. Ketimpangan kesejahteraan ini didapatkan
dari matrikulasi data:
• Peta Hasil Panen Padi Musim Tanam 1
• Peta keluarga sejahtera 3 Plus
Hasil
pemetaan dan matrikulasi hasil data tersebut disajikan dalam bentuk peta dan
tabel matrikulasi untuk dapat memahami permaslahan dalam aspek keruangan
wilayah.
Hasil
matrikulasi di atas dapat dilihat bahwa terdapat dua wilayah yang meiliki
potensi hasil pertanian tinggi (66kw/ha) namun tingkat kesejahteraan sangat
rendah yaitu:
• Desa Kembang
• Karangtalun
Selain
itu juga didapatkan desa dengan tingkat panen rendah dengan kesejahteraan
rendah yaitu:
• Jatisari
• Jatiklampok
• Wonosemi
• Sidomulyo
• Sumberagung
• Sendanggayam
ii
Dinamika Kelahiran dan Kematian
Dinamika
kelahiran dan kematian ini berpengaruh pada bagaimana pengaruh terhadap
peningkatan jumlah penduduk di tiap desa. Dengan asumsi jika desa yang memiliki
tingkat kematian lebih ttinggi daripada kelahirannya maka terdapat dua
kemungkinan yang mungkin terjadi yaitu: tingkat kesehatan rendah atau angka
kelahiran yang rendah. Pada desa yang memiliki tingkat kelahiran lebih tinggi
daripada kematiannya mengindikasikan tigkat kesehatan yang tinggi atau Pemetaan
dan matrikulasi yang dibuat berusaha untuk menjelaskan dan mengkaitkan dua data
yag berpeda untuk dianalisis lebih lanjut.
Berdasarkan
hasil wawancara terhadap Ka Puskesmas Banjarejo, disebutkan bahwa hingga saat
ini tigkat kesehatan di Kecamatan Banajarejo masih tergolong cukup aman. Belum
pernah terjangkit penyakit endemik yang mengakibatkan korban yang banyak.
Jumlah fasilitas yang di temukan di Banjarejo hanya memiliki 1 puskesmas
kecamatan. Proses kelahiran ditangani oleh bidan dan dibantu oleh satu pembantu
bidan/ tenaga kesehatan. Konsep 4 tangan digunakan untuk membantu proses
kelahiran yang berarti setiap pasien melahirkan harus dibantu minimal 2 orang
tenaga medis.
Penjelasan
dari peta di atas ditampilkan dalam tabel matrikulasi di bawah ini:
iii
Ketidakseimbangan Jumlah Kematian terhadap Jumlah Fasilitas Kesehatan
Analogi
menyebutkan bahwa semakin banyak fasilitas kesehatan maka jumlah kesehatan akan
meningkat dan jumlah kematian bisa menurun. Namun, data yang ada di lapangan
mengatakan hal lain yaitu masih ditemukan desa dengan jumlah fasilitas
kesehatan yang memadai namun tingkat kematian masih tinggi. Di sisi lain juga
terdapat tingkat kesehatan yang baik namun jumah kematian juga bisa ditekan.
Berikut adalah peta matrikulasi yang didapat dari data:
• jumlah kematian tahun 2010
Berdasarkan
hasil analisis tingkat kesehatan dan kematian didapatkan desa dengan tingkat
kesehatan rendah yaitu tingkat kelahiran rendah dan kematian tinggi yaitu:
• Desa Buluroto
• Desa Plosorejo
iv Dinamika
Perpindahan Penduduk
Perpindahan
penduduk adalah bagian dari dinamika urbanisasi yang terjadi di Kecamatan
Banjarejo. Perindahan migrasi keluar yang tinggi mengindikasikan nahwa di
daerah tersebut belum bisa menyediakan fasilitas yang memadai bagi penduduknya.
Sedangkan daerah dengan migrasi masuk yang tinggi mengindikasikan daerah
tersebut memiliki daya pemikat yang kuat bagi daerah lainnnya. Analisis perpindahan
masuk dan keluar dilakukan untuk bisa memahami bagaimana pergerakan, mengatahui
daerah yang memiliki potensi dan kekurangan daya saing sehingga banyak
penduduknya yang bermigrasi keluar.
Peta
di atas memiliki 3 kategori penggolongan tingkat migrasi. Penjelasan bisa
dilihat melalui tabel matrikulasi Perpindahan penduduk.
Data
matrikulasi di atas menyebutkan bahwa desa dengan pergarakan tinggi adalah Desa
Banjarejo dengan migrasi keluar lebih besar daripada migrasi masuknya. Sebagi
pusat kecamatan, memungkingkan untuk penduduknya melakukan migrasi ke wilayah
yang lebih maju dengan kemudahan akses. Sedangkan sebagian besar desa di
Banjarejo merupakan desa dengan penduduk yang cenderung stastis dengan
pergerakan penduduk rata-rata sebesar 3 penduduk pertahun sebanyak 11 desa atau
55% dari total desa yang ada.
v
Penduduk Tidak Bersekolah terhdap Jumlah Fasilitas Pendidikan
Permasalahan
mengenai penduduk yang tidak sekolah akan muncul apabila di tempat tersebut
memiliki fasilitas pendidikan yang memadai namun tetap jumlah penduduk yang
tidak sekolah tinggi. Adanya program waji belajar 9 tahun yang dicanangkan
pemerintah dan juga progam grtais biaya pendidikan seharunya bisa menjadi
solusi bagi penduduk untuk menempuh pendidikan. Namun terdapat preferensi lain
yang bisa mengakibatkan seseorang tidak mengenyam pendidikan karena:
• Ketidak pahaman menganai program wajib
belajar
• Larangan orang tua untuk bersekolah
• Memilih bekerja daripada bersekolah.
Fenomena
ppendidikan di desa ini mungkin berbeda dengan pendidikan di perkotaan di mana
faktor pendidikan sangat penting. Berikut adalah peta dan tabel matrikulasi
antara data penduduk tidak sekolah terhdap ketersediaan jumlah fasilitas
pendidikan.
Penjelasan
peta di atas dapat dilihat dengan tabel analisis matrikulasi berikut
Berdasarkan
data matriks dan peta di atas, desa-desa di Kecamatan Banjarejo dapat dibedakan
menjadi 4 kategori yaitu:
• Merah
: tidak sekolah tinggi namun jumlah fasilitas pendidikan lengkap
• Biru : kategori pendidikan rata-rata
• Hijau : tidak sekolah sedikit dengan fasilitas
pendidikan lengkap
• Hijau muda : tidak sekolah rendah dengan
fasilitas pendidikan tidak lengkap
Kondisi
bermasalah ada di kategor tidak sekolah tinggi dengan fasilitas lengkap adalah
desa Mojowetan. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena jumlah pendudu yang tidak sekolah mencapai
ribuan penduduk. Diperlukan adanya pendekatan lebih lanjut untuk menekan jumlah
penduduk tidak sekolah
vi
Kesenjangan Persebaran Kepadatan Penduduk
Persebaran
penduduk yang tidak merata akan mengakibatkan beban tiap desa yang berlebihan.
Konsentrasi penduduk tidak merata. Diperlukan pemerataan penduduk untuk
mengatasi konsentrasi penduduk yang memusat di salah satu desa. Pola persebaran
kepadatan penduduk di Kecamatan Banjarejo daat dilihat melalui peta dan
tabel kepadatan penduduk.
Pemetaan
dari data kepdatan penduduk tersebut lalu diklasifikasikan menjadi 3 klasifikasi
yaitu:
• Kepadatan tinggi : 948-1817 jiwa/km2
• Kepadatan sedang : 508-947 jiwa/km2
• Kepadata rendah : 165-507 jiwa/km2
3.1.3 Kelembagaan Instansi Pemerintahan
Permasalahan
kelembagaan muncul akibat ketidak efektifan pelayan pemerintah terhadap layanan
kepada masyarakat. Sering kali permasalahan kelembagaan ini disebut sebagai
masalah birokrasi. Pelayana nyang tidak terstruktur dan layanan yang tidak
prima dari pemerintah akan mengakibatkan ketidaknyaman atau bahkan masalah yang
serius di masyarakat. Seringkali masalah kelembagaan ini tidak terpantau oleh
masyarakat. Sifat masyarakat desa yang kurang kritis terhdap layanan pemerintah
membuat permasalahan ini semakin menjadi. Beberapa permasalahan kelembagaan
yang ditemukan di lapangan antara lain:
Alur
hasil sharing kehutanan tersebut menjelaskan bahwa masih terdapat kejanggalan
dalam pemberian feedback / timbal balik sebagai hasil produksi hutan
diantaranya:
• Pengelolaan hutan tidak berdasarkan
pada batasan administrasi kecamatan
• Hasil dari hutan tidak kembali ke
daerah masing-masing, namun kembali ke pemerintah daerah sebagai APBD
• Masyarakat hanya mendapat hasil dana
sharing dari perhutani
• Pengawasan hutan dikembalikan ke
masyarakat selaku LMDH (lembaga masyarakat desa hutan)
Alur
yang rumit di atas dapat memungkinkan terjadinya korupsi untuk hasil dana yang
dihasilkan, mengingat Kabupaten Blora adalah Kecamatan dengan produksi hasil
hutan paling tinggi di Propinsi Jawa Tengah. Tercatat hasil APBD tertinggi yang
dihasilkan oleh produksi hutan adalah sekitar 11 milyar. Organisasi dan
pengefektivan alur sangat diperlukan untuk meningkatkan transparansi hasil
hutan. Terbukti bahwa tidak banyak masyarakat yang tahu berapa besardana yang
didapat dari hasil hutan.
ii
Pejabat Desa yang Kurang Optimal
Permasalahan
Pejabat desa yang kurang optimal adalah keadaan di mana kinerja perangkat desa
tidak sesuai dengan kondisi standar jam kerja pegawai biasanya. Dari hasil
pantauan lapangan terdapat beberapa kantor desa yang kosong, kepala desa tidak
selalu berada di kantor. Keadaan ini berakibat aka mengganggu aktivitas warga
yang sewaktu-waktu membutuhkan pelayanan publik dan juga disposisi surat-surat
peijinan. Sebagian dari perangkat desa tidak memahami secara detail bagaimana
kondisi kedataan di desanya masing-masing. Pengetahuan mengenai kewilayahannya
hanya sekitar apa yang ditemui sehari-hari.
Masalah
lainnya adalah ketidaklengkapan data yang dimiliki tiap desa maupun kecamatan.
Permasalahan ini muncul akibat buruknya koordinasi antara desa dengan pihak pengelola
data, BPS kabupaten dan warga sebagai objek data. Masih banyak ditemukan data
yang kosong dan tidak terisi. Poses birokrasi untuk mendapatkan data juga
sangat rumit. Perlu adanya koordinasi antara kepala desa dan sekretaris desa
untuk melakukan persetujuan
3.1 Penstrukturan Masalah Kewilayahan
Berdasarkan banyaknya permasalahan – permasalahan yang ditemukan dilapangan, dibutuhkan penstrukturan masalah yang digunakan untuk menyederhanakan masalah. Pemahaman permaslahan yang sederhana dilakukan dengan membuat pemodelan tabel sebagai berikut:
3.2.1 Hubungan antar Aspek
Hubungan
antar aspek bisa menjelaskan bagaimana keterkaitan natar aspek dan apa
pengaruhnya untuk setiap aspek. Aspek yang dibaas ada tiga yaitu: keruangan,
ekonomi – demografi, dan kelembagaan . masing-masing aspek memiliki eran dalam
penciptaan kondisi tertententu. Semakin hubungan yang ada maka semakin besar
pengaruh satu denanlainnya. Hubungan yang terbentuk dari ketiga aspek tersebut
digambarkan pada model berikut ini
3.2.2 Prioritasi
Permaslahan
Setelah
melakukan analisis pada setiap aspek maka prioritasi permaaslahan di Kecamatan
Banjarejo adalah aspek yang memiliki permsalahan palig banyak dengan tingkat
risiko tertinggi. Penstrukturan masalah menyebutkan bahwa urutan permsalahan
yang muncul dari hasil analisis adalah
Aspek
kependudukan – ekonomi menjadi prioritas utama karena masalah yang muncul langsung
menyangkut pada kehidupan masyarakat secara riil dan terjadi setiap hari. Sifat
masalah merupakan masalah fundamental dengan kriteria:
• Masalah yang timbul menyangkut
kesejahteraan
• Masalah yang timbul menyangkut
kesehatan, kelahiran dan kematian
• Maslakah menyangkut dinamika
pergerakan penduduk
• Orang yang menjdai subjek permsalahan
mencapai ribuan
Berdasar
dasar inilah aspek kependudukan dan ekonomi menjadi aspek dominan
3.2 Prakiraan Perkembangan Permasalahan Wilayah
Masalah
yang ada saat ini jika tidak diatur sedemikian rupa akan menjadi semakin parah
dikemudan hari. Masalah-masalah yang muncul membutuhkan strategi khusus untuk
penanganan. Namun tidak semua aspek permasalahan bisa diselesaikan, contohnya aspek
alamiah. Salah satu cara yang diguanakan adalah pencarian altrnatif baru.
Prakiraan
perkembangan permalahan wilayah yang mungkin terjadi di Kecamatan Bajarejo
adalah:
1. Masalah keruangan
2. Masalah pendidikan
3. Masalah kelembagaan
3.3.1 Faktor Penting Pendorong Perkembangan
Permasalahan Wilayah
Perkembangan
permasalahan ini muncul akibat dari saiat penduduk desa yang kurang kreatif dan
kritis melihat kondisi yang ada. Selain itu juga keterbatasan dana yang
dimiliki oleh pemerintash setempat mengakiatkan tidak adanya program kerja
penanggunalangan permsalahan atau tidak adanya program pendidikan. Kondisi yang
ideal adalah kondisi di mana masyarakat desa secara mandiri dpat menangani
permasalahan yang muncul dan menjadi desa yang mandiri. Konsep pola
pengembangan baru ini diperlukan untuk meningkatkan keaktifan dan kreatifiktas
manusia untuk mengambangkan hal-hal baru yang bernilai ekonomi. Hal ini juga
akan secara tidak langsung mengurangi angka migrasi yang ada.
Secara
umum, faktor yang mempengaruhi pendorong perkembangan masalah adalah:
• Tidak tersedianya pos dana pada
pemerintah daerah
• Sikap apatis masyarakat tidak
menimbulkan kektifan dan kreativitas
• Pemerintah tidakmemiliki program
sektoral
• Pemahaman masyarakat akan aspek
keruangan wilayahnya masih minim.
3.3.2
Skenario Perkembangan
Wilayah di Masa yang Akan Datang
Skenario
dibutuhkan untuk mengatur bagaimana alur perencanan wilayah yang akan dilakukan
ke dapan sesaui dengan target yang diharapkan. Secara umum skenario
pengembangan wilayah dibagi menjadi tiga kondisi yaitu skenario pesimis,
stastus quo dan optimis. Masing-masing skenario memiliki beban perencanan yang berbeda
untuk mencapa target yang diinginkan. Skenario optimis memiliki usaha yang jauh
lebih sedikit daripada skenario pesimis dengan tujuan mencapai kondisi yang
sama .
a Skenario Pengambangan Keruangan
Pengembangan
kerunangan memiliki banyak pilihan alternatif karena ada beberapa aspek yang
tidak bisa diubah. Skenario pengembangan wilayah yang ada adalah :
i Skenario optimis:
Lagkah-langkah
yang dilakuka pada skenario optimis adalah
• Mengembangkan pola ruang yang telah
ada
• Meningkatkan produkivitas pertanian dan
kehutanan
• Membangun akses pada desa yang belum
memiliki akses
• Menjadikan desa Banjarejo sebagi pusat
kegiatan kecamatan
ii Skenario Status Quo
• Membangun saluran irigasi pertanian
• Pembangunan embung-embung penyuplai
air untuk pertanian
• Peningkatan program pamsimas
• Pengurusan ijin sumur air bawah tanah
dalam (srtesis di tiap desa)
iii
Skenario pesimis
• Melakukan pasar-pasar untuk
menyediakan hasil bahan pokok
• Pelatihan masyarakat untuk melatih
ketrampilan
• Mecari sumberdaya lain
• Pengalihan sektor petanian ke sektor
terbangun
b Skenario
pengembangan kependudukan dan perekonomian
Permalasalahan
kependududkan dan perekonomian merupakan peramsalahan yang menjadi priotitas
utama dalam perencanaan wilayah Banjarejo. Aspek-aspek inti masyarakat terdapat
dalam permalahan ini pendekatan sosial dibutuhkan agar maksud dari perencanaan
dapat tersampaikan dengan baik. Langkah-langkah dalam skenario pengembangan
kependudukan dan perekonomian adalah:
• Melakukan sosialisai meyeluruh kepada
semua lapisan masyrakat untuk mendudkung pemahaman masyarakat akan kegiatan perencanaan
• Melakukan progrm development from
bellow
• Mengembangkan sektor ekonomi baru
untuk menunjang ekonomi basis
• Mengembangkan program berjangka dan
berkelanjutan
c Skenario pengembangan kelembagaan
Kelembagaan
selalu terikat pada aturan yang terdapat
di dalam lembaga tersebut. Aturan tersebut bersifat kaku dan mengikat.
Pendekatan yang dapat dilakukan adalah pengembangan dari kapasitas
masing-masing elemen peyusun kelembagaan. Skenario yang dapat dilakukan adalah:
i Peningkatan kapasitas kelembagaan
Peningkatan
sistem dapat dilakukan dengan memperbaharui dan menambahkan peraturan yang
lebih mengikat dengan disertai hukum yang mengikat. Seringdisadari bahwa pelaku
lembaga tersebut lupa akan ikatan hukum yang mengikat dan menuntut
pertanggungjawaban dari segala kebijakan yang dibuat. Sitem ini bisa mengatur
dan mengkondisikan tiap-tiap individu didalamnya.
ii Peningkatan kapasitas organisasi
Peningkatan
kapasitas organisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
• Penambahan jumlah anggota
melakukan
penambahan jumlah anggota organisasi yang telah ada. Peningkatan julan anggota
ini diharapkan akan menunjang tingkat produktivitas kelembagaan.
• Hal kedua adalah pemendekan alur kerja.
Pemendekan alur
kerja ini dapat meningkatan efektivitas dan ejfisiensi kerja dalam pengurusan
perijinan.
• Rotasi anggota organisasi
Bertujuan untuk
mengantisipasi penyelewengan yang mungkin terjadi akibat kondisi individu yang
terlalu pahan akan kelemahan-kelemhan lembaga
iii
Peningkatan kapasias individu
Kapasitan
Individu merupakan pandangan masing-masing individu terhadap perkembangan
wilayahnya. Mereka yang bekerja di bidang pertanian pada umumnya sangat giat
dalam bekerja, bagi mereka jika hasil pekerjaannya sudah dapat mencukupi
kebutuhannya maka mereka sudah dapat hidup.
Pandangan
masyarakat yang susah untuk berkembang ini menjadi salah satu faktor lambatnya
perkembang wilayah Kecamatan Ngawen.Kapasitas individu ini seharusnya diubah
cara pikir masing –masing individu untuk dapat berkembang dan menjadi individu
yang kreatif agar dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat dan tentunya
mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah Kecamatan Banjarejo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar